Hari Pers Dunia
/ / H A R I P E R S D U N I A / /
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Hari Kebebasan Pers Sedunia bermula pada tahun 1993, ketika Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers, demi mengukur kebebasan pers di seluruh dunia.
Sejak saat itu, 3 Mei selalu diperingati demi mempertahankan kebebasan media dari serangan berbagai pihak dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal dalam menjalankan profesinya. Di Indonesia sendiri, kebebasan pers diawali pada tanggal 23 September 1999, ketika Presiden Indonesia BJ Habibie mengesahkan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Pers, yang mencabut wewenang pemerintah dalam menyensor dan membredel pers.
Hari ini, insan pers merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia. Namun, di tengah status darurat wabah Covid-19 ini Organisasi kebebasan pers, Press Emblem Campaign (PEC) memperingatkan banyak jurnalis menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk melaporkan krisis kesehatan global ini. Setelah itu banyak dari mereka yang terinfeksi. Tak hanya petugas medis, puluhan wartawan di seluruh dunia juga jadi korban meninggal akibat terinfeksi virus corona dalam 2 bulan terakhir. PEC mengungkap, jurnalis terkadang tak melengkapi diri dengan APD saat meliput kejadian terkait wabah Covid-19. Menurut PEC, sejak 1 Maret, 55 jurnalis di 23 negara meninggal akibat virus corona.
Lebih lanjut PEC juga menyoroti peringatan dari PBB bahwa wabah virus corona di beberapa negara digunakan sebagai alasan untuk menindak media.
"Penyensoran, pemblokiran internet, penahanan sewenang-wenang terhadap wartawan, serangan fisik dan verbal, serta undang-undang darurat yang membatasi kebebasan pers telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir," kata PEC.
Selain itu dalam penetapan aturan pembatasan pergerakan, kerja para jurnalis menjadi lebih terbatas. Terbatasnya kerja pers sesungguhnya bukan hanya terjadi karena aturan-aturan penangan Covid-19. Pers telah banyak dibatasi bahkan jauh sebelum pemberlakuan pembatasan pergerakan karena virus corona.
Menanggapi laporan lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) yang menunjukkan indeks kebebasan pers Indonesia naik ke peringkat 119 pada 2020 dari posisi 124 pada tahun sebelumnya, Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan meragukan perubahan itu mencerminkan kemajuan kebebasan pers di Indonesia. "Menurut saya belum tentu, kalau melihat apa yang terjadi selama 2019 situasi di dalam negeri tidak membaik. Kalau indeks Indonesia tahun ini naik mungkin bukan karena kita membaik di dalam negeri tapi situasi di luar negeri yang lebih buruk," pungkasnya.
Lanjut dalam acara diskusi daring "Ethics and Freedom of the Press", Abdul mengungkapkan ada tiga hal yang membuat kebebasan pers di Indonesia tidak tumbuh. Pertama adalah sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik. Kedua, kemiskinan yang menjerat kalangan wartawan yang menurutnya sulit tumbuh jika kesejahteraan wartawan memprihatinkan. Dan hal terakhir yang memengaruhi kebebasan pers di Indonesia adalah iklim ketakutan. Wartawan sering menghadapi ancaman, dan itu tidak hanya berwujud ancaman fisik.
"Dalam kasus di Indonesia yang kami lihat berdasarkan monitoring AJI kita malah berada dalam ancaman dari berbagai sisi, dari regulasi wartawan berhadapan dengan KUHP dan UU ITE. Dua pasal yang banyak dikritik karena dengan sangat mudah memenjarakan wartawan," tuturnya.
Tradisi impunitas di Indonesia membuat bagaimana kebebasan pers mati dan benar-benar merupakan suatu tantangan. Kasus kekerasan menjadi perhatian besar AJI lndonesia. Abdul mengungkapkan, pelaku kekerasan terhadap wartawan sepanjang tahun 2019 umumnya polisi yang fakta itu tergambar dalam aksi demonstrasi Mei 2019 yang menolak hasil pemilihan presiden, serta demo menolak RKUHP dan revisi Undang-Undang KPK.
"Sebagian besar ya motifnya polisi marah karena wartawan merekam polisi melakukan kekerasan. Padahal itu bagian kontrol sosial yang dilakukan oleh pers karena melakukan kekerasan bukan hanya kepada wartawan dan warga sipil. Itu kenapa kami tidak terlalu heran ketika kasus kekerasan itu banyak yang tidak diproses karena tradisi impunitas di kalangan penegak hukum Indonesia," ucap Abdul.
Dilain sisi, bekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & community engagement, Airlambang mengkrik jika jurnalis kini tengah mendekati deadline bersama untuk membersihkan ruang publik dari berbagai varian racun. Syaratnya, tak boleh gagap terhadap fakta dan demokrasi. Kita tidak dapat menampikan bahwa jurnalisme hanya menyajikan hasil rekaman atau stenografi pernyataan narasumber dan membesarkan perkara sepele yang secara sengaja dilakukan, dibuat sensasional, agar menarik pembaca demi mengejar jumlah klik. Kita pinjam istilah dari Google: umpan klik (clickbait).
Tugas jurnalisme bukan memelihara bias kognitif dan bias konfirmasi, seperti terjadi pada “orang ingin melihat dan mendengar apa yang ingin mereka lihat dan dengar” di atas. Meneruskan kepercayaan semacam ini membuat publik sulit membedakan mana kabar benar dan bukan. Yang fatal, menurut beberapa artikel psikologi, mereka cenderung akan memaksakan kebenarannya, apapun yang terjadi, karena keyakinan semata.
Kita lebih sering tidak tahu apa yang kita tidak tahu. Selain kita tahu bahwa ada yang kita tidak tahu. Jurnalisme masuk ke ruang-ruang gelap dan samar itu, membuatnya—paling tidak—sedikit lebih terang. Seperti juga ikhtiar sains.
Sebuah Fakta, tidak terbatas pada apa yang disajikan, apalagi dari pernyataan. Rukun pertama jurnalisme adalah skeptis. Mereka yang “hanya mendengar apa yang ingin didengar” juga memiliki sikap skeptis pada apa yang berbeda. Tapi jurnalis harus menyadari keadaan bias kognitifnya untuk menggali lebih dalam, bukan memanjakannya. Dengan demikian, netralitas bukan saja tidak mungkin terjadi dalam praktik jurnalistik, tapi ia harus diabaikan. Netralitas hanya mungkin dilakukan oleh pencatat notula, tinta menulis stenografi dan alat perekam jurnalis.
Polusi yang ditimbulkan oleh silang tumpang informasi dari media massa, media sosial, media penerus pesan mesti dibersihkan. Namun, sebelum menghilangkan racun di ruang publik, pers mesti detoksifikasi dirinya sendiri.
Pertama kali, jurnalis harus meninggalkan kebiasaan memproduksi berita umpan klik (clickbait). Melanggengkan kebiasaan ini sama artinya wartawan sedang menghancurkan jurnalisme.
Anjuran kedua, barangkali agak berat: menghapus kolom komentar di bawah tiap berita. Jurnalisme warga (citizen journalism) berkembang pesat dan patut didukung. Platform menulis opini juga banyak. Ruang komentar di bawah berita bukan jenis jurnalisme warga. Ia kerap kali menjadi ruang saling memaki, melecehkan, dan menyebar fitnah.
Rekomendasi berikutnya berasal dari Stephen JA Ward (Ethical Journalism in a Populist Age, 2019): wartawan mempraktikkan etika democratically engaged journalism. Bukan menjadi patriot, atau nasionalis totok tanpa ampun terhadap segala yang berbau asing. Tapi kukuh bekerja menggunakan metode imparsial—bukan netral, dengan tujuan parsial: menjaga komitmen pada demokrasi, pada pluralisme. Karena erosi demokrasi itu fakta.
------------------------
Pers adalah bagian dari instrumen negara. Kemerdekaan pers adalah suatu kondisi yang tentunya diharapkan oleh berbagai pihak. Lalu, mampukah pers memperoleh kemerdekaan yang sejati ketika negara senantiasa membatasi kemerdekaan itu?
_______
.
.
.
.
.
#KIMIA_FMIPA_UHO #HMJ_KIMIA_FMIPA_UHO #Kabinet_Aurum #BergerakSeiramaMenujuKimiaJaya #1000LangkahLebihMaju #HariPersDunia #PressFreedomDay #KebebasanPers #COVID #COVID19 #StaySafe #StayHealty #StayAtHome #PhysicalDistancing
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Hari Kebebasan Pers Sedunia bermula pada tahun 1993, ketika Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers, demi mengukur kebebasan pers di seluruh dunia.
Sejak saat itu, 3 Mei selalu diperingati demi mempertahankan kebebasan media dari serangan berbagai pihak dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal dalam menjalankan profesinya. Di Indonesia sendiri, kebebasan pers diawali pada tanggal 23 September 1999, ketika Presiden Indonesia BJ Habibie mengesahkan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Pers, yang mencabut wewenang pemerintah dalam menyensor dan membredel pers.
Hari ini, insan pers merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia. Namun, di tengah status darurat wabah Covid-19 ini Organisasi kebebasan pers, Press Emblem Campaign (PEC) memperingatkan banyak jurnalis menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk melaporkan krisis kesehatan global ini. Setelah itu banyak dari mereka yang terinfeksi. Tak hanya petugas medis, puluhan wartawan di seluruh dunia juga jadi korban meninggal akibat terinfeksi virus corona dalam 2 bulan terakhir. PEC mengungkap, jurnalis terkadang tak melengkapi diri dengan APD saat meliput kejadian terkait wabah Covid-19. Menurut PEC, sejak 1 Maret, 55 jurnalis di 23 negara meninggal akibat virus corona.
Lebih lanjut PEC juga menyoroti peringatan dari PBB bahwa wabah virus corona di beberapa negara digunakan sebagai alasan untuk menindak media.
"Penyensoran, pemblokiran internet, penahanan sewenang-wenang terhadap wartawan, serangan fisik dan verbal, serta undang-undang darurat yang membatasi kebebasan pers telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir," kata PEC.
Selain itu dalam penetapan aturan pembatasan pergerakan, kerja para jurnalis menjadi lebih terbatas. Terbatasnya kerja pers sesungguhnya bukan hanya terjadi karena aturan-aturan penangan Covid-19. Pers telah banyak dibatasi bahkan jauh sebelum pemberlakuan pembatasan pergerakan karena virus corona.
Menanggapi laporan lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) yang menunjukkan indeks kebebasan pers Indonesia naik ke peringkat 119 pada 2020 dari posisi 124 pada tahun sebelumnya, Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan meragukan perubahan itu mencerminkan kemajuan kebebasan pers di Indonesia. "Menurut saya belum tentu, kalau melihat apa yang terjadi selama 2019 situasi di dalam negeri tidak membaik. Kalau indeks Indonesia tahun ini naik mungkin bukan karena kita membaik di dalam negeri tapi situasi di luar negeri yang lebih buruk," pungkasnya.
Lanjut dalam acara diskusi daring "Ethics and Freedom of the Press", Abdul mengungkapkan ada tiga hal yang membuat kebebasan pers di Indonesia tidak tumbuh. Pertama adalah sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik. Kedua, kemiskinan yang menjerat kalangan wartawan yang menurutnya sulit tumbuh jika kesejahteraan wartawan memprihatinkan. Dan hal terakhir yang memengaruhi kebebasan pers di Indonesia adalah iklim ketakutan. Wartawan sering menghadapi ancaman, dan itu tidak hanya berwujud ancaman fisik.
"Dalam kasus di Indonesia yang kami lihat berdasarkan monitoring AJI kita malah berada dalam ancaman dari berbagai sisi, dari regulasi wartawan berhadapan dengan KUHP dan UU ITE. Dua pasal yang banyak dikritik karena dengan sangat mudah memenjarakan wartawan," tuturnya.
Tradisi impunitas di Indonesia membuat bagaimana kebebasan pers mati dan benar-benar merupakan suatu tantangan. Kasus kekerasan menjadi perhatian besar AJI lndonesia. Abdul mengungkapkan, pelaku kekerasan terhadap wartawan sepanjang tahun 2019 umumnya polisi yang fakta itu tergambar dalam aksi demonstrasi Mei 2019 yang menolak hasil pemilihan presiden, serta demo menolak RKUHP dan revisi Undang-Undang KPK.
"Sebagian besar ya motifnya polisi marah karena wartawan merekam polisi melakukan kekerasan. Padahal itu bagian kontrol sosial yang dilakukan oleh pers karena melakukan kekerasan bukan hanya kepada wartawan dan warga sipil. Itu kenapa kami tidak terlalu heran ketika kasus kekerasan itu banyak yang tidak diproses karena tradisi impunitas di kalangan penegak hukum Indonesia," ucap Abdul.
Dilain sisi, bekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & community engagement, Airlambang mengkrik jika jurnalis kini tengah mendekati deadline bersama untuk membersihkan ruang publik dari berbagai varian racun. Syaratnya, tak boleh gagap terhadap fakta dan demokrasi. Kita tidak dapat menampikan bahwa jurnalisme hanya menyajikan hasil rekaman atau stenografi pernyataan narasumber dan membesarkan perkara sepele yang secara sengaja dilakukan, dibuat sensasional, agar menarik pembaca demi mengejar jumlah klik. Kita pinjam istilah dari Google: umpan klik (clickbait).
Tugas jurnalisme bukan memelihara bias kognitif dan bias konfirmasi, seperti terjadi pada “orang ingin melihat dan mendengar apa yang ingin mereka lihat dan dengar” di atas. Meneruskan kepercayaan semacam ini membuat publik sulit membedakan mana kabar benar dan bukan. Yang fatal, menurut beberapa artikel psikologi, mereka cenderung akan memaksakan kebenarannya, apapun yang terjadi, karena keyakinan semata.
Kita lebih sering tidak tahu apa yang kita tidak tahu. Selain kita tahu bahwa ada yang kita tidak tahu. Jurnalisme masuk ke ruang-ruang gelap dan samar itu, membuatnya—paling tidak—sedikit lebih terang. Seperti juga ikhtiar sains.
Sebuah Fakta, tidak terbatas pada apa yang disajikan, apalagi dari pernyataan. Rukun pertama jurnalisme adalah skeptis. Mereka yang “hanya mendengar apa yang ingin didengar” juga memiliki sikap skeptis pada apa yang berbeda. Tapi jurnalis harus menyadari keadaan bias kognitifnya untuk menggali lebih dalam, bukan memanjakannya. Dengan demikian, netralitas bukan saja tidak mungkin terjadi dalam praktik jurnalistik, tapi ia harus diabaikan. Netralitas hanya mungkin dilakukan oleh pencatat notula, tinta menulis stenografi dan alat perekam jurnalis.
Polusi yang ditimbulkan oleh silang tumpang informasi dari media massa, media sosial, media penerus pesan mesti dibersihkan. Namun, sebelum menghilangkan racun di ruang publik, pers mesti detoksifikasi dirinya sendiri.
Pertama kali, jurnalis harus meninggalkan kebiasaan memproduksi berita umpan klik (clickbait). Melanggengkan kebiasaan ini sama artinya wartawan sedang menghancurkan jurnalisme.
Anjuran kedua, barangkali agak berat: menghapus kolom komentar di bawah tiap berita. Jurnalisme warga (citizen journalism) berkembang pesat dan patut didukung. Platform menulis opini juga banyak. Ruang komentar di bawah berita bukan jenis jurnalisme warga. Ia kerap kali menjadi ruang saling memaki, melecehkan, dan menyebar fitnah.
Rekomendasi berikutnya berasal dari Stephen JA Ward (Ethical Journalism in a Populist Age, 2019): wartawan mempraktikkan etika democratically engaged journalism. Bukan menjadi patriot, atau nasionalis totok tanpa ampun terhadap segala yang berbau asing. Tapi kukuh bekerja menggunakan metode imparsial—bukan netral, dengan tujuan parsial: menjaga komitmen pada demokrasi, pada pluralisme. Karena erosi demokrasi itu fakta.
------------------------
Pers adalah bagian dari instrumen negara. Kemerdekaan pers adalah suatu kondisi yang tentunya diharapkan oleh berbagai pihak. Lalu, mampukah pers memperoleh kemerdekaan yang sejati ketika negara senantiasa membatasi kemerdekaan itu?
_______
.
.
.
.
.
#KIMIA_FMIPA_UHO #HMJ_KIMIA_FMIPA_UHO #Kabinet_Aurum #BergerakSeiramaMenujuKimiaJaya #1000LangkahLebihMaju #HariPersDunia #PressFreedomDay #KebebasanPers #COVID #COVID19 #StaySafe #StayHealty #StayAtHome #PhysicalDistancing
Post a Comment