Hari Puisi Nasional
// H A R I P U I S I N A S I O N A L //
__________________
Setiap tahunnya, tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional, yang bertepatan dengan tanggal meninggalnya penyair Indonesia. Chairil Anwar meninggal pada tahun 1949 di umurnya yang ke 27 akibat TBC yang diidapnya.
Penyair yang dijuluki Si Binatang Jalang tersebut lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922. Di usianya yang ke-15 tahun, ia sudah bertekad untuk menjadi seorang penyair. Bakatnya tersebut tidak lain muncul akibat kecintaannya membaca yang telah ditanamkan ayahnya sejak kecil.
Saat ia duduk di bangku SMP, Chairil telah melahap semua buku untuk siswa Hogare Burgerlijk School (HBS), yang lebih mentereng daripada MULO di mana ia belajar. Kala itu, ia juga telah membaca tulisan-tulisan sastrawan barat termasuk Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, dan banyak lainnya.
“Semua buku mereka aku sudah baca," kata Chairil, seperti dikutip Eneste Pamusuk dalam Mengenal Chairil Anwar (1995).
Kecintaan terhadap membaca tersebut juga membuatnya memutuskan untuk tidak harus bersekolah tinggi. Modal bacaan lebih penting baginya.
Puisi dan berbagai tulisan karya Chairil Anwar menjadi bentuk perlawanannya terhadap penjajah. Di masa pendudukan Jepang, Chairil harus merasakan perihnya siksaan Kempeitai atau Polisi Rahasia Jepang yang dikenal kejam akibat karya provokatifnya berjudul “Siap Sedia".
Akibatnya, Chairil didakwa dengan tuduhan menganjurkan pemberontakan pada Jepang.
Di tahun 1945, puisinya yang berjudul “Aku" dimuat di majalah Timur meski telah ia tulis sejak dua tahun sebelumnya. Melalui puisinya tersebut, ia dianggap oleh sebagian khalayak sastra sebagai pendobrak cara berpuisi, dan dijuluki “Binatang Jalang".
Selama periode 1942-1949, si Binatang Jelang ini telah menghasilkan 94 tulisan yang termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Dia telah berhasil menjadi apa yang ia inginkan di saat ia duduk di bangku sekolah, yakni seorang penyair dan seniman.
“Ada yang berubah ada yang bertahan karena zaman tak bisa dilawan, yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan”
- Chairil Anwar -
__________________
Berpuisilah tanpa takut dibilang sok bijak tanpa takut dibilang galau tanpa takut dibilang patah hati teruslah berkarya tanpa takut dibenci karena hujan yang membawa kesuburan pun terkadang masih dimaki. Galaunya cukup dalam puisi-puisi, di sisi hidup yang lain kita tetap petarung sejati!
Selamat Hari Puisi Nasional. Yuk, terus berkarya dalam dunia aksara! Cintailah pena! Teruslah mencipta karya yang indah. Tetaplah tunjukkan cinta pada sastra Indonesia dan menginspirasi. Melalui diksi yang indah, kita sadar bahwa ada Dia yang Maha Indah.
__________________
.
.
.
.
.
#KIMIA_FMIPA_UHO #HMJ_KIMIA_FMIPA_UHO #Kabinet_Aurum #BergerakSeiramaMenujuKimiaJaya #1000LangkahLebihMaju #HariPuisiNasional #ChairilAnwar #SapardiDjokoDamono #SujiwoTedjo #BoyChandra #Puisi #Sajak #COVID #COVID19 #StaySafe #StayHealty #StayAtHome #PhysicalDistancing
__________________
Setiap tahunnya, tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional, yang bertepatan dengan tanggal meninggalnya penyair Indonesia. Chairil Anwar meninggal pada tahun 1949 di umurnya yang ke 27 akibat TBC yang diidapnya.
Penyair yang dijuluki Si Binatang Jalang tersebut lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922. Di usianya yang ke-15 tahun, ia sudah bertekad untuk menjadi seorang penyair. Bakatnya tersebut tidak lain muncul akibat kecintaannya membaca yang telah ditanamkan ayahnya sejak kecil.
Saat ia duduk di bangku SMP, Chairil telah melahap semua buku untuk siswa Hogare Burgerlijk School (HBS), yang lebih mentereng daripada MULO di mana ia belajar. Kala itu, ia juga telah membaca tulisan-tulisan sastrawan barat termasuk Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, dan banyak lainnya.
“Semua buku mereka aku sudah baca," kata Chairil, seperti dikutip Eneste Pamusuk dalam Mengenal Chairil Anwar (1995).
Kecintaan terhadap membaca tersebut juga membuatnya memutuskan untuk tidak harus bersekolah tinggi. Modal bacaan lebih penting baginya.
Puisi dan berbagai tulisan karya Chairil Anwar menjadi bentuk perlawanannya terhadap penjajah. Di masa pendudukan Jepang, Chairil harus merasakan perihnya siksaan Kempeitai atau Polisi Rahasia Jepang yang dikenal kejam akibat karya provokatifnya berjudul “Siap Sedia".
Akibatnya, Chairil didakwa dengan tuduhan menganjurkan pemberontakan pada Jepang.
Di tahun 1945, puisinya yang berjudul “Aku" dimuat di majalah Timur meski telah ia tulis sejak dua tahun sebelumnya. Melalui puisinya tersebut, ia dianggap oleh sebagian khalayak sastra sebagai pendobrak cara berpuisi, dan dijuluki “Binatang Jalang".
Selama periode 1942-1949, si Binatang Jelang ini telah menghasilkan 94 tulisan yang termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Dia telah berhasil menjadi apa yang ia inginkan di saat ia duduk di bangku sekolah, yakni seorang penyair dan seniman.
“Ada yang berubah ada yang bertahan karena zaman tak bisa dilawan, yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan”
- Chairil Anwar -
__________________
Berpuisilah tanpa takut dibilang sok bijak tanpa takut dibilang galau tanpa takut dibilang patah hati teruslah berkarya tanpa takut dibenci karena hujan yang membawa kesuburan pun terkadang masih dimaki. Galaunya cukup dalam puisi-puisi, di sisi hidup yang lain kita tetap petarung sejati!
Selamat Hari Puisi Nasional. Yuk, terus berkarya dalam dunia aksara! Cintailah pena! Teruslah mencipta karya yang indah. Tetaplah tunjukkan cinta pada sastra Indonesia dan menginspirasi. Melalui diksi yang indah, kita sadar bahwa ada Dia yang Maha Indah.
__________________
.
.
.
.
.
#KIMIA_FMIPA_UHO #HMJ_KIMIA_FMIPA_UHO #Kabinet_Aurum #BergerakSeiramaMenujuKimiaJaya #1000LangkahLebihMaju #HariPuisiNasional #ChairilAnwar #SapardiDjokoDamono #SujiwoTedjo #BoyChandra #Puisi #Sajak #COVID #COVID19 #StaySafe #StayHealty #StayAtHome #PhysicalDistancing
Post a Comment